Recent Updates Page 2 Toggle Comment Threads | Keyboard Shortcuts

  • jarakada 11:09 pm on 10/01/2016 Permalink | Reply  

    Whiplashing Baby Nico 

    image

    Pernah nonton Whiplash, 2014? Bagaimana tokoh Andrew Neiman (Miles Teller), berlatih keras menggebuk drum menyesuaikan ketukan irama “Whiplash” dan “Caravan”.  Serta bagaimana drama hubungannya dengan mentor killer sekaligus konduktor band jazz prestisius yang dilakoni Terrence Fletcher (J.K. Simmons) berkelakuan setan di film tersebut.

    Apa yang Andrew lakoni kurang lebih sama dengan apa yang saya alami sekarang ini, bahkan lebih.  Bedanya kalau si Andrew menggebuk drum, saya mempuk-puk bokong bayi Nico, putra saya yang masih berumur satu setengah bulan.

    Saya merasa senasib dengan tokoh Andrew.  Mempuk-puk bokong bayi sama susahnya dengan membaca ketukan drum simfoni whiplash. Andrew masih beruntung bisa sambil membaca not balok dan punya mentor killer sebagai motivasi. Lha saya? Erangan, kadang rintihan dan suara lirih bayi Nico lebih rumit dari map bar whiplash, bahkan caravan sekalipun.

    Intro masuk whiplash bisa dibilang mustahil: dengan tempo seperti itu drummernya pasti sinting; pun begitu dengan caravan: solo drum-nya saja tujuh kali lebih panjang dari lagunya.

    Mempuk-puk bokong bayi ternyata lebih rumit.  Tak ada patokan buat mengatur tempo puk-pukan baik di intro permulaan dan di penutup.  Semua tergantung mood bayi.  Terlalu lembut jadi kurang puas – terlalu keras malah nangis.  Semena-mena, persis lakon tokoh Terrence sang konduktor kejam yang antagonis. Kalau tak suka, ibunya – the second puk-puker siap menggantikan saya – the lead puk-puker. Padahal tidak ada yang salah dengan irama puk-pukan saya.  Terlebih lagi, puk-puker ibunya di bawah standar.  Senasib dengan Andrew, saat Terrence sang konduktor bosan karena gebukan Andrew yang kelewat sempurna, dengan gampangnya ia digantikan oleh drummer cadangan yang gebukannya terdengar sangat biasa.

    Lupakan panjang solo drum di “caravan”.  Rekor puk-puk bayi Nico hampir tujuh jam: dari pukul 8 malam sampai pukul 4 dini hari.  Maklum, siangnya bayi Nico baru divaksin dan tingkat kesulitan mempuk-puk bokong bayi bekas disuntik vaksin jauh di atas tingkat kesulitan tempo ketukan drum whiplash & caravan bahkan gabungan keduanya.  Lagian drum set si Andrew mana pernah disuntik vaksin! Kebayang saat mempuk-puk saya mesti menghafal bokong sebelah mana yang disuntik.  Belum lagi khawatir apa puk-pukan saya terlalu keras atau terlalu lembut. Tangan saya bahkan nyaris mempuk-puk tanpa menyentuh karena saking pengen lembut tepukannya.  Mirip adegan saat Andrew diminta sang mentor menabuh ketukan drum caravan dengan tempo sepersekian detik cepatnya seolah-olah stik drum terlihat tak menyentuh senar drum sama sekali.  Sinting memang, membuat frustasi.

    Sebagai catatan Miles Teller menghabiskan waktu empat bulan dengan latihan nonstop 4-6 jam sehari dipandu penggebuk drum jazz pro buat mendalami peran di film ini.  Sementara saya terpaksa otodidak belajar puk-puk bokong bayi tanpa persiapan dan bantuan dari siapapun.  Sudah googling kemana-mana, belum juga ketemu puk-puker bokong bayi profesional.  Tapi secara hasil, kami berdua boleh diadu.

    Sayang, pengalaman mempuk-puk bayi tak sepopuler menggebuk drum. Makanya sangat jarang Hollywood mengangkat tema ini ke layar lebar. Seandainya ada, bukan tidak mungkin prestasinya bakal menyaingi Whiplash yang berhasil masuk lima nominasi Oscar dan menyabet tiga di antaranya pada tahun 2015 kemarin.

    All right gang, whiplash!

     
  • jarakada 2:35 am on 26/10/2015 Permalink | Reply  

    Spiritualisme Kafein al Kimia Bahagia 

    image

    Hasil googling sejarah kopi membawa saya ke daerah Kaffa, Abyssinia (kini Ethiopia) di rentang waktu sejarah abad 10-19 Masehi.

    Maghrib sebutannya, membentang dari Spanyol, Afrika utara hingga Libya. Dalam perjalanannya kopi Singgah di Istambul Turki, kemudian Alexandria Mesir, berbelok ke timur dekat (Mekkah & Madinah) dan menyisakan sedikit cerita di Maroko, Libya hingga Francis dan Inggris.

    Dari beberapa artikel blog mengenai sejarah kopi, benang merah distribusi panjang sejarahnya mempunyai pola yang sama dengan penyebaran spritualisme tarekat Sadzilliyah yang lahir di Afrika Utara, tempat kopi dikenal pertama kali oleh si fulan Khalid berkat insiden kambing menarinya.

    Darwis dan sufi Sadzilliyah-lah yang pertama kali  menyadari manfaat kopi dan menggunakannya dalam menunjang kegiatan ritual zikir, diskursus dan diskusi mistik mereka sepanjang malam. Lambat laun, ngopi akhirnya menjadi bagian dari laku ritual itu sendiri. Seiring dengan berkembang dan meluasnya pengaruh tarekat Sadzilliyah dari Afrika utara hingga ke timur dekat, ikut pula menyebarkan dan mempopulerkan budaya ngopi. Pengaruh spiritual para darwis dan sufi membuat kopi lebih mudah diterima secara luas. Pendiri tarekat Sadzilliyah, Abul Hasan Ali ibn Umar al Sadzilly kemudian menetap di Aljazair pada akhir masa hidupnya. Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya mempopulerkan budaya ngopi, masyarakat di sana menyebut kopi dengan panggilan Sadzilly, merujuk pada nama tarekat yang ia bangun.

    Tak kurang dinasti Mamluk hingga Ustmaniah di Turki ikut bersinggungan dengan budaya ngopi dan di sini Qahwa (nama kopi dalam bahasa Arab yg juga berarti anggur) mendapat nama baru Kahve berkat transliterasi Parsi. Di Turki pulalah metode memanggang biji kopi (roasting) diperkenalkan guna memunculkan aroma yang lebih kuat. Sebelumnya kopi hanya dikeringkan dengan metode jemur kemudian ditumbuk dan diseduh sebelum dinikmati.

    Asimilasi kopi dengan budaya Turki mencatat, kopi bahkan menjadi komoditi penting dan sakral sampai-sampai untuk memberi mahar perkawinan tak lengkap bila tak ada kopi di dalamnya. Masih dalam anekdot Turki, saat seorang pria bertandang melamar seorang perempuan, ia disuguhi kopi diseduh dengan garam demi menilai derajat kesabarannya. Turki juga tercatat sebagai tempat di mana kedai kopi pertama di dunia dengan nama Kiva Han didirikan di Istambul tahun 1555 dan resmi dibuka oleh Gubernur Ustmaniyah untuk Yaman Ozdemir Pasha. Kopi mulai merambah kaum menengah hingga bangsawan dan lambat laun, kopi menjadi minuman resmi kalangan istana.

    Pun begitu saat pusat penyebaran tarekat Sadzilliyah berpindah ke Alexandria Mesir pada tahun 1244 dan di saat yang sama konfrontasi barat (Erofa) lewat ekspedisi Pasukan Salib ke 7 pimpinan St. Louis dari Francis menyerang wilayah Mesir. Momentum ini dipercaya merupakan jalan masuk kopi ke barat pada masa-masa awalnya. Bukan hanya itu, Ibnu Batutah dikenal sebagai darwis Sadzilliyah di Mesir yang kemudian terkenal sebagai pengembara Muslim di abad 14 M. Walaupun secara eksplisit ia tidak pernah menyebut kopi dalam ekspedisinya, namun beliau dipercaya memperkenalkan kopi ke segenap penjuru tempat yang ia kunjungi termasuk saat dia menjejakkan kaki di Sumatera.

    Agen penyebaran kopi dari garis inisiasi tarekat Sadzilliyah dapat ditemui pula di Maroko, bentuk idealnya adalah Maraboutisme, di Francis mereka disebut Marabout. Tokoh Marabout yang cukup dikenal di barat adalah filsuf Francis Renè Guènon yang kemudian hari diasosiasikan dengan filsuf Inggris Francis Bacon. Ditambahkan oleh Idries Shah dalam Multi Dimensi Sufi, para Marabout ini merupakan darwis Sadzilliyah yang menerapkan majelis zikir dengan mengkonsumsi suguhan kopi sebelumnya sehingga membuat mereka bertahan semalam suntuk dalam laku zikir. Kopi bagi mereka adalah obat, suatu hal yang juga diamini oleh filsuf Francis Bacon dikemudian hari. Karena dianggap terlalu muslim, Paus Clement VIII akhirnya mengeluarkan fatwa halal pada kopi guna mengurangi dominansi timur yang lebih dulu membaptis komoditas tersebut.

    Sumbangan besar Sadzilliyah pada kopi adalah penghargaan mereka terhadap budaya ngopi itu sendiri. Sufi Shadili Abu Bakar ibn Abdullah Alaydrus bahkan menulis qasidah tentang kopi dan memperkenalkan istilah Marqaha, euforia akibat ngopi yang kemudian kita kenal dengan caffeine. Seorang darwis Sadzilliyah abad 20, Ismail Ba Alawi asal Aljazair juga menulis risalah tentang Qahwa ma’nawiya prihal metode seduh kopi yang tepat dapat mengantar mereka pada kondisi Qahwa al Sufiyah ekstase ilahiah. Rujukan ini  merupakan fundamental metode seduh ideal guna mengekstrak zat di dalam kopi untuk mendapatkan cita rasa dan manfaat kopi secara maksimal.

    Masih sezaman dengan awal berdirinya tarekat Sadzilliyah, Jalaluddin Rumi sang maulana pendiri tarekat Maulawiyah, kerap menyebut cawan, anggur (qahwa) dalam mabuk anggur ilahiah di setiap puisi spontannya, mengiringi ritual majelis darwis berputar (the whirling dervish). Rumi, walau tidak spesifik menyebut anggur memabukkan sebagai metafor kopi, namun jelas tersirat bahwa kata anggur, qahwah, kahvi (parsi) merujuk kepada kopi yang dapat mengantar seorang sufi dalam ekstase ilahiah (marqaha) dalam persfektif sufisme Persia. Rumi dalam idealisme “mabuk ngopi” lewat puisi-puisi spiritualnya menebar pengaruh dan simpati sampai ke anak benua India lewat Afganistan dan Pakistan. Di anak benua puisi Rumi lahir kembali lewat filsuf abad 20 Muhammad Iqbal dan bukan tidak mungkin ikut pula menginspirasinya menulis “Rekonstruksi Pemikiran Islam” yang kemudian memicu gerakan kemerdekaan Pakistan atas India, di mana terminologi “mabuk kopi” ikut ambil bagian di dalamnya.

    Sulit untuk menyangkal sumbangsih esoterisme Islam ikut membentuk citra kopi seperti apa ia sekarang. Berawal dari steroid para darwis agar terjaga semalaman dalam laku zikir, candu pemacu gairah kerja, obat penyembuh, hingga zat yang dianggap al-kimia bahagia, hanya bila diseduh sesuai aturan dan takarannya.

    Persentuhan budaya juga punya peran penting, Turki menyumbang metode roasting guna mengakstraksi aroma, memberi kopi derajat lebih tinggi hingga menjadi minuman resmi para bangsawan hingga raja. Timur dekat, Mekah dan Madinah menyumbangkan legitimasi “ngopi” sebagai sesuatu yang tidak menentang syariah dan turut mensyiarkannya. Di Mesir kopi mendapat tempat diantara para intelektualis al-Azhar, memberi warna baru bahwa kopi bukan hanya milik para darwis tapi juga dapat merupakan katalis energi di malam-malam kontemplasi para filsuf cerdik-cendikia. Begitu pula di Maroko, batas antara temaram barat dan timur yang bercahaya bertemu, kopi hadir di sana dan menyemarakkan diskusi panjang para Marabout. Menebarkan aroma kopi hingga ke kedai-kedai pelosok Paris, euforia kafeinnya memberi semangat dan kemudian memuncak pada revolusi Francis yang diramalkan para aristokrat Inggris sejak lama.

    Atas dasar ini tidak berlebihan bila menganggap kopi merupakan warisan budaya Islam ketimbang “Arab” yang terbatas secara geografis. Namun kopi melewati rentang waktu lama dan jalan panjang berliku sampai pada capaian seperti sekarang ini. Kopi ikut melewati malam panjang laku zikir para sufi, menemani malam-malam sepi para filsuf abad pertengahan dalam laku kontemplasi mereka yang terdalam. Kopi juga hadir dalam puisi-puisi ekstatik Rumi dan Iqbal sekaligus memberi energi kepada para pendengarnya mencapai ekstase, mabuk kopi ilahiah. Kopi juga hadir dalam hiruk pikuk pembicaraan politik di kedai-kedai kopi di Erofa, ikut menyumbang geliat gairah revolusi Francis lewat kafein. Kopi menjadi teman perjalanan panjang 14.000 km Ibnu Batutah, dari Alexandria Mesir hingga Sriwijaya Sumatra. Kopi turut serta dalam exodus para sufi menghindari invasi Mongol di pusat kekhalifahan Baghdad dan memilih Mesir dan tanah haram sebagai persinggahannya. Kopi menjadi saksi kejatuhan ide kekhalifahan Islam dan ikut pula menyaksikan sekularisme Muslim di masa kritisnya. Kopi juga mengambil tempat saat faham kanonik fundamentalis Hambali yang sempat membuatnya dilarang, bersentuhan dengan faham Maliki dan Ashari yang lebih terbuka. Kopi dan budaya ngopi mengambil bentuk dan warna menjadi seperti sekarang ini setelah melewati itu semua.

    Inilah kopi, anggurnya umat muslim. Meminjam istilah Al Kimia Bahagia al Gazhali mungkin nama yang tepat untuk kafein. Puisi Rumi lebih jauh lagi menjelaskan bagaimana minuman ini mengantarkan inti kebahagiaan spiritual lewat Masnawi:

    Kala pertama Pemberi buah anggur tiba,
    hatiku nan tengah kesepian
    menjadi mendapat mitra
    Anggur membakar dadaku dan seluruh pembuluhku kian sarat dengan darah
    Namun ketika citra-Nya memikat seluruh pandanganku, suara pun merendah:
    ”Sungguh indah, O Anggur nan perkasa
    dan Cawan nan tiada tara!”

    Daftar pustaka:

    kopikeliling.com Sejarah Kopi.
    Ensiklopedia Tematis Spritualisme Islam, Buku I, II dan III, Manifestasi, Sayyed Hussein Nasr. Mizan, 2000, Jakarta.
    Akulah Angin Engkaulah Api, Karya dan Hidup Jalaluddin Rumi, Annemarie Schimmel. Mizan, 1993, Jakarta.
    Dimensi Mistik dalam Islam, Annemarie Schimmel.
    Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Muhammad Iqbal.
    Kimia Kebahagiaan, al Gazhali.

     
  • jarakada 9:36 am on 24/07/2014 Permalink | Reply  

    Semuanya beda latar belakang, tidak saling mengenal, kadang beda pendapat, beda pandangan. Tak jarang mereka saling ejek bahkan saling menjatuhkan. Ketemu juga paling lewat ruang publik sosmed. Lucunya, empat Ramadan berlalu mereka tetap meluangkan waktu untuk bertemu. Entah ini komitmen atau sekedar kebersamaan antar teman. Namun yang pasti, silaturahmi selalu membawa kebahagian.

    Thanks all for the great time 😉 – with Eka SOCKU, Frisca, Ade, Inez, Eboth, Ellie, Ibrahim, Theo, Akioong, Tino, and Okyjan

    View on Path

     
  • jarakada 10:03 am on 29/04/2014 Permalink | Reply  

    Jungle to the Shore 

    Puas mengekplorasi Hutan Kanopi Bukit Bengkirai, trip berlanjut menyasar Pantai Tanah Merah.  Kebetulan lokasi pantainya searah rute pulang ke Samarinda melewati jalur Kuala Samboja.  Berjarak sekitar 30 Km dari lokasi Bukit Bengkirai, melalui jalan beraspal yang lumayan mulus.  Hanya butuh waktu 35 menit, kamipun sampai di lokasi tujuan.

    Pantai Tanah Merah namanya, kontras dengan warna pasirnya yang putih.  Tapi yang menarik perhatian bukan pemandangan pantai.  Tapi jejeran pohon Cemara laut ramping menjulang, memberi nuansa unik sekaligus rindang.  Jauh dari kesan umum lanskap pantai yang terbuka dan berlimpah sinar Matahari.  Lingkungan pantainya relatif bersih. Mungkin karena sepi pengunjung dan hanya ada satu-dua pedagang makanan yang mangkal.

    Tidak banyak kegiatan yang dilakukan selain melepas penat sembari menikmati suasana teduh rindangnya pepohonan. Hanya beberapa objek di area terdekat yang sempat diabadikan.  Selebihnya kami menikmati suasana pantai sambil menyantap bekal yang dibawa dan kemudian bersiap untuk pulang.

    wpid-wp-1398672008463.jpeg

    wpid-wp-1398672077666.jpeg

    wpid-wp-1398671903394.jpeg

    wpid-wp-1398671759572.jpeg

     
  • jarakada 3:39 pm on 28/04/2014 Permalink | Reply  

    Mengapa Canopy? 

    Mungkin pertanyaan ini yang kerap muncul mengisi konten FAQ (Frequently Asked Questions) di setiap artikel wisata Jembatan Tajuk, atau lebih dikenal dengan Canopy Bridge di Taman Hutan Hujan Tropis Bukit Bengkirai Balikpapan.  Sayangnya saat berkunjung kemarin, pertanyaan ini belum terjawab.  Beberapa staf pengelola di sana memberikan menjelaskan sekenanya.  Memang seperti itu sebutannya, Hutan Kanopi.  Akhirnya saya coba Googling karena penasaran.

    Venue ini termasuk populer dan ada banyak artikel yang sudah membahasnya.  Makanya, saya hanya berbagi cerita tentang hal-hal spesifik saja.  Mengapa Canopy?  Mungkin artikel di situs http://www.indonesia.mongabay.com punya definisi paling mendekati tentang apa itu Hutan Kanopi.  Ringkasannya kurang lebih seperti ini:

    Canopy atau Kanopi lebih menyerupai persfektif payung.  Sebuah zona di ketinggian 30 meter dari permukaan tanah, di rerimbunan dedaunan.  Cukup efektif menaungi ruang di bawahnya dari sinar Matahari dan hujan.  Terus, mengapa istimewa?  Tentu saja.  Zona ini merupakan habitat terkaya di lingkungan Hutan Hujan Tropis.  Hampir 70-90% keragaman hayati (biodiversitas) berada di zona ini.  Alasannya? Densitas tinggi dedaunan membuat zona ini relatif terlindung dan aman karena jarak pandang yang rendah.  Itu sebabnya fauna hutan kanopi berkomunikasi menggunakan isyarat suara sebagai bentuk adaptasi.

    Karena saya bukan termasuk fauna Kanopi, satu-satunya sensasi yang terasa adalah ketinggian!  Selebihnya, pemandangan pemuncak pepohonan dan tentu saja, meniti jembatan Kanopi yang hanya ditopang temali baja di ketinggian 30 meter bukanlah pengalaman yang biasa.

    Gerbang Canopy Bridge

    Gerbang Canopy Bridge

     

    Tangga menuju Kanopi

    Tangga menuju Kanopi

    Jembatan Tajuk (Canopy Bridge)

    Jembatan Tajuk (Canopy Bridge)

    Titian Jembatan Tajuk

    Titian Jembatan Tajuk

    Kanopi

    Kanopi

    Kanopi, pohon Bengkirai

    Kanopi, pohon Bengkirai

     
c
Compose new post
j
Next post/Next comment
k
Previous post/Previous comment
r
Reply
e
Edit
o
Show/Hide comments
t
Go to top
l
Go to login
h
Show/Hide help
shift + esc
Cancel