Hasil googling sejarah kopi membawa saya ke daerah Kaffa, Abyssinia (kini Ethiopia) di rentang waktu sejarah abad 10-19 Masehi.
Maghrib sebutannya, membentang dari Spanyol, Afrika utara hingga Libya. Dalam perjalanannya kopi Singgah di Istambul Turki, kemudian Alexandria Mesir, berbelok ke timur dekat (Mekkah & Madinah) dan menyisakan sedikit cerita di Maroko, Libya hingga Francis dan Inggris.
Dari beberapa artikel blog mengenai sejarah kopi, benang merah distribusi panjang sejarahnya mempunyai pola yang sama dengan penyebaran spritualisme tarekat Sadzilliyah yang lahir di Afrika Utara, tempat kopi dikenal pertama kali oleh si fulan Khalid berkat insiden kambing menarinya.
Darwis dan sufi Sadzilliyah-lah yang pertama kali menyadari manfaat kopi dan menggunakannya dalam menunjang kegiatan ritual zikir, diskursus dan diskusi mistik mereka sepanjang malam. Lambat laun, ngopi akhirnya menjadi bagian dari laku ritual itu sendiri. Seiring dengan berkembang dan meluasnya pengaruh tarekat Sadzilliyah dari Afrika utara hingga ke timur dekat, ikut pula menyebarkan dan mempopulerkan budaya ngopi. Pengaruh spiritual para darwis dan sufi membuat kopi lebih mudah diterima secara luas. Pendiri tarekat Sadzilliyah, Abul Hasan Ali ibn Umar al Sadzilly kemudian menetap di Aljazair pada akhir masa hidupnya. Sebagai bentuk penghormatan atas jasanya mempopulerkan budaya ngopi, masyarakat di sana menyebut kopi dengan panggilan Sadzilly, merujuk pada nama tarekat yang ia bangun.
Tak kurang dinasti Mamluk hingga Ustmaniah di Turki ikut bersinggungan dengan budaya ngopi dan di sini Qahwa (nama kopi dalam bahasa Arab yg juga berarti anggur) mendapat nama baru Kahve berkat transliterasi Parsi. Di Turki pulalah metode memanggang biji kopi (roasting) diperkenalkan guna memunculkan aroma yang lebih kuat. Sebelumnya kopi hanya dikeringkan dengan metode jemur kemudian ditumbuk dan diseduh sebelum dinikmati.
Asimilasi kopi dengan budaya Turki mencatat, kopi bahkan menjadi komoditi penting dan sakral sampai-sampai untuk memberi mahar perkawinan tak lengkap bila tak ada kopi di dalamnya. Masih dalam anekdot Turki, saat seorang pria bertandang melamar seorang perempuan, ia disuguhi kopi diseduh dengan garam demi menilai derajat kesabarannya. Turki juga tercatat sebagai tempat di mana kedai kopi pertama di dunia dengan nama Kiva Han didirikan di Istambul tahun 1555 dan resmi dibuka oleh Gubernur Ustmaniyah untuk Yaman Ozdemir Pasha. Kopi mulai merambah kaum menengah hingga bangsawan dan lambat laun, kopi menjadi minuman resmi kalangan istana.
Pun begitu saat pusat penyebaran tarekat Sadzilliyah berpindah ke Alexandria Mesir pada tahun 1244 dan di saat yang sama konfrontasi barat (Erofa) lewat ekspedisi Pasukan Salib ke 7 pimpinan St. Louis dari Francis menyerang wilayah Mesir. Momentum ini dipercaya merupakan jalan masuk kopi ke barat pada masa-masa awalnya. Bukan hanya itu, Ibnu Batutah dikenal sebagai darwis Sadzilliyah di Mesir yang kemudian terkenal sebagai pengembara Muslim di abad 14 M. Walaupun secara eksplisit ia tidak pernah menyebut kopi dalam ekspedisinya, namun beliau dipercaya memperkenalkan kopi ke segenap penjuru tempat yang ia kunjungi termasuk saat dia menjejakkan kaki di Sumatera.
Agen penyebaran kopi dari garis inisiasi tarekat Sadzilliyah dapat ditemui pula di Maroko, bentuk idealnya adalah Maraboutisme, di Francis mereka disebut Marabout. Tokoh Marabout yang cukup dikenal di barat adalah filsuf Francis Renè Guènon yang kemudian hari diasosiasikan dengan filsuf Inggris Francis Bacon. Ditambahkan oleh Idries Shah dalam Multi Dimensi Sufi, para Marabout ini merupakan darwis Sadzilliyah yang menerapkan majelis zikir dengan mengkonsumsi suguhan kopi sebelumnya sehingga membuat mereka bertahan semalam suntuk dalam laku zikir. Kopi bagi mereka adalah obat, suatu hal yang juga diamini oleh filsuf Francis Bacon dikemudian hari. Karena dianggap terlalu muslim, Paus Clement VIII akhirnya mengeluarkan fatwa halal pada kopi guna mengurangi dominansi timur yang lebih dulu membaptis komoditas tersebut.
Sumbangan besar Sadzilliyah pada kopi adalah penghargaan mereka terhadap budaya ngopi itu sendiri. Sufi Shadili Abu Bakar ibn Abdullah Alaydrus bahkan menulis qasidah tentang kopi dan memperkenalkan istilah Marqaha, euforia akibat ngopi yang kemudian kita kenal dengan caffeine. Seorang darwis Sadzilliyah abad 20, Ismail Ba Alawi asal Aljazair juga menulis risalah tentang Qahwa ma’nawiya prihal metode seduh kopi yang tepat dapat mengantar mereka pada kondisi Qahwa al Sufiyah ekstase ilahiah. Rujukan ini merupakan fundamental metode seduh ideal guna mengekstrak zat di dalam kopi untuk mendapatkan cita rasa dan manfaat kopi secara maksimal.
Masih sezaman dengan awal berdirinya tarekat Sadzilliyah, Jalaluddin Rumi sang maulana pendiri tarekat Maulawiyah, kerap menyebut cawan, anggur (qahwa) dalam mabuk anggur ilahiah di setiap puisi spontannya, mengiringi ritual majelis darwis berputar (the whirling dervish). Rumi, walau tidak spesifik menyebut anggur memabukkan sebagai metafor kopi, namun jelas tersirat bahwa kata anggur, qahwah, kahvi (parsi) merujuk kepada kopi yang dapat mengantar seorang sufi dalam ekstase ilahiah (marqaha) dalam persfektif sufisme Persia. Rumi dalam idealisme “mabuk ngopi” lewat puisi-puisi spiritualnya menebar pengaruh dan simpati sampai ke anak benua India lewat Afganistan dan Pakistan. Di anak benua puisi Rumi lahir kembali lewat filsuf abad 20 Muhammad Iqbal dan bukan tidak mungkin ikut pula menginspirasinya menulis “Rekonstruksi Pemikiran Islam” yang kemudian memicu gerakan kemerdekaan Pakistan atas India, di mana terminologi “mabuk kopi” ikut ambil bagian di dalamnya.
Sulit untuk menyangkal sumbangsih esoterisme Islam ikut membentuk citra kopi seperti apa ia sekarang. Berawal dari steroid para darwis agar terjaga semalaman dalam laku zikir, candu pemacu gairah kerja, obat penyembuh, hingga zat yang dianggap al-kimia bahagia, hanya bila diseduh sesuai aturan dan takarannya.
Persentuhan budaya juga punya peran penting, Turki menyumbang metode roasting guna mengakstraksi aroma, memberi kopi derajat lebih tinggi hingga menjadi minuman resmi para bangsawan hingga raja. Timur dekat, Mekah dan Madinah menyumbangkan legitimasi “ngopi” sebagai sesuatu yang tidak menentang syariah dan turut mensyiarkannya. Di Mesir kopi mendapat tempat diantara para intelektualis al-Azhar, memberi warna baru bahwa kopi bukan hanya milik para darwis tapi juga dapat merupakan katalis energi di malam-malam kontemplasi para filsuf cerdik-cendikia. Begitu pula di Maroko, batas antara temaram barat dan timur yang bercahaya bertemu, kopi hadir di sana dan menyemarakkan diskusi panjang para Marabout. Menebarkan aroma kopi hingga ke kedai-kedai pelosok Paris, euforia kafeinnya memberi semangat dan kemudian memuncak pada revolusi Francis yang diramalkan para aristokrat Inggris sejak lama.
Atas dasar ini tidak berlebihan bila menganggap kopi merupakan warisan budaya Islam ketimbang “Arab” yang terbatas secara geografis. Namun kopi melewati rentang waktu lama dan jalan panjang berliku sampai pada capaian seperti sekarang ini. Kopi ikut melewati malam panjang laku zikir para sufi, menemani malam-malam sepi para filsuf abad pertengahan dalam laku kontemplasi mereka yang terdalam. Kopi juga hadir dalam puisi-puisi ekstatik Rumi dan Iqbal sekaligus memberi energi kepada para pendengarnya mencapai ekstase, mabuk kopi ilahiah. Kopi juga hadir dalam hiruk pikuk pembicaraan politik di kedai-kedai kopi di Erofa, ikut menyumbang geliat gairah revolusi Francis lewat kafein. Kopi menjadi teman perjalanan panjang 14.000 km Ibnu Batutah, dari Alexandria Mesir hingga Sriwijaya Sumatra. Kopi turut serta dalam exodus para sufi menghindari invasi Mongol di pusat kekhalifahan Baghdad dan memilih Mesir dan tanah haram sebagai persinggahannya. Kopi menjadi saksi kejatuhan ide kekhalifahan Islam dan ikut pula menyaksikan sekularisme Muslim di masa kritisnya. Kopi juga mengambil tempat saat faham kanonik fundamentalis Hambali yang sempat membuatnya dilarang, bersentuhan dengan faham Maliki dan Ashari yang lebih terbuka. Kopi dan budaya ngopi mengambil bentuk dan warna menjadi seperti sekarang ini setelah melewati itu semua.
Inilah kopi, anggurnya umat muslim. Meminjam istilah Al Kimia Bahagia al Gazhali mungkin nama yang tepat untuk kafein. Puisi Rumi lebih jauh lagi menjelaskan bagaimana minuman ini mengantarkan inti kebahagiaan spiritual lewat Masnawi:
Kala pertama Pemberi buah anggur tiba,
hatiku nan tengah kesepian
menjadi mendapat mitra
Anggur membakar dadaku dan seluruh pembuluhku kian sarat dengan darah
Namun ketika citra-Nya memikat seluruh pandanganku, suara pun merendah:
”Sungguh indah, O Anggur nan perkasa
dan Cawan nan tiada tara!”
Daftar pustaka:
kopikeliling.com Sejarah Kopi.
Ensiklopedia Tematis Spritualisme Islam, Buku I, II dan III, Manifestasi, Sayyed Hussein Nasr. Mizan, 2000, Jakarta.
Akulah Angin Engkaulah Api, Karya dan Hidup Jalaluddin Rumi, Annemarie Schimmel. Mizan, 1993, Jakarta.
Dimensi Mistik dalam Islam, Annemarie Schimmel.
Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Muhammad Iqbal.
Kimia Kebahagiaan, al Gazhali.
Reply